Tuesday, November 17, 2009

Meliput Konflik Tanpa Darah dan Letusan Senjata

Bagi seorang jurnalis, meliput daerah konflik adalah tantangan yang harus ditaklukkan. Bukan hanya  demi menjalankan tugas, tapi juga untuk  mengasah keterampilan mencari berita  di tengah kondisi  yang  bergejolak.

Program acara Zona Merah di TV One menayangkan liputan jurnalis tv berita tersebut dari  wilayah konflik di berbagai negara, seperti Darfur di Sudan, dan Mindanao di Filipina Selatan.

Dari  beberapa  episode yang sudah tayang setiap Senin malam,  pola  penayangan hampir seragam. Dimulai  dengan laporan  perjalanan  menuju  negara  tujuan,  menemui  narasumber dan mewawancarainya,  lalu berangkat  ke  wilayah konflik.

Di lokasi    konflik,  pengambilan gambar didominasi  oleh gambar-gambar  tentara  atau  gerilyawan bersenjata,  yang   tengah siaga dan  siap tempur  setiap saat.

Ada pula gambar para pengungsi, yang tinggal  di kamp pengungsi  seperti di Darfur. Ditayangkan  juga  kamp-kamp  militer  seperti  milik MNLF (Front Nasional Pembebasan Moro) di Jolo, Mindanao. Tentu saja  ditambah  dengan wawancara  bersama  narasumber tertentu.

Saat di Darfur, misalnya, wawancara dilakukan dengan   Kombes Jhoni Asadoma, Komandan  Polisi Indonesia yang tergabung dalam pasukan pemelihara perdamaian  PBB.

Sementara di Mindanao, wawancara dilakukan  dengan  Ustad Hader Malik, komandan kamp MNLF di Jolo,   yang  menjadi buronan militer  Filipina. Entah  apa perasaan tentara Filipina bila mereka melihat tayangan tersebut. Sebab  ada jurnalis asing yang bisa masuk ke  sarang musuh, dan mewawancarai orang yang mereka cari selama ini.

Selain Hader Malik, TV One juga mewawancarai Nur Misuari, mantan pemimpin MNLF yang sekarang menjadi politisi di Manila, serta seorang  profesor, yang menjadi orang kepercayaan Misuari di  Zamboanga.

Selain keberanian si jurnalis masuk ke  wilayah konflik, hal lain yang patut diacungi jempol adalah  penayangan gambar  yang tidak ditutup-tutupi.  Saat di Jolo, misalnya,  wajah  Hader Malik, serta  para gerilyawan dan simpatisan MNLF lainnya  ditayangkan  secara terbuka. Tak ada yang  memakai penutup  wajah,  atau  berbagai bentuk penyamaran lainnya.

Entah karena pertimbangan keamanan, atau  karena  keterbatasan waktu,  liputan  di  wilayah konflik itu  terasa singkat.  Setelah  wawancara dan pengambilan gambar,  si jurnalis  dan juru kamera meninggalkan lokasi untuk kembali ke   ibu kota negara bersangkutan.

Sebagai sebuah acara baru, Zona Merah  cukup menarik untuk ditonton karena isinya  laporan langsung dari wilayah konflik, yang selama ini jarang diliput media. Pemirsa bisa menyaksikan  tayangan  tentang  kondisi   di wilayah konflik itu,  serta wawancara dengan pihak  yang bertikai.

Saat liputan di Filipina, selain mewawancarai  pihak MNLF,  jurnalis TV One juga mewawancarai komandan militer  Filipina di Zamboanga.  Dengan demikian,  prinsip  cover both sides tetap terjaga,   sehingga beritanya tetap berimbang.

Sayangnya,  penguasaan si jurnalis atas  peta konflik  di Mindanao kurang mendalam.   Dia hanya  menyebutkan  MNLF dan Abu Sayyaf  sebagai kelompok perlawanan di wilayah selatan Filipina tersebut.

Padahal, bicara  konflik  Mindanao  tak bisa tidak harus melibatkan  pula  unsur MILF (Front  Pembebasan Islam Moro),  yang juga gigih  berjuang untuk kemerdekaan  Mindanao. Namun tak sepatah kata pun diucapkan  si jurnalis.

Hal ini perlu jadi  perhatian redaksi TV One untuk membekali  jurnalisnya dengan  peta konflik berikut  pemain-pemainnya,  sebelum mereka dikirim ke lapangan,  agar laporannya makin mendalam.

Dengan segala keterbatasannya,  Zona Merah  berhasil mencuri perhatian pemirsa di tengah  gempuran berita tentang  perseteruan  cicak versus buaya saat ini.

Acara ini bisa menjadi program  dokumenter  alternatif, yang melaporkan langsung  dari  wilayah konflik yang  tengah panas, tanpa harus   menayangkan banjir darah dan letusan senjata. Itu bisa jadi bukti bahwa program berita dokumenter produk   tv nasional  tak kalah  berkualitas  dibandingkan tv asing.

Dan satu hal yang  perlu dicatat, dari beberapa episode yang sudah tayang,  jurnalis  yang  meliput  adalah wanita.         Ini juga bukti bahwa  jurnalis wanita punya nyali  meliput di wilayah konflik. Bukan hanya  meliput hal yang remeh temeh!

No comments:

Post a Comment