Bagi seorang jurnalis, meliput daerah konflik adalah tantangan yang harus ditaklukkan. Bukan hanya demi menjalankan tugas, tapi juga untuk mengasah keterampilan mencari berita di tengah kondisi yang bergejolak.
Program acara Zona Merah di TV One menayangkan liputan jurnalis tv berita tersebut dari wilayah konflik di berbagai negara, seperti Darfur di Sudan, dan Mindanao di Filipina Selatan.
Dari beberapa episode yang sudah tayang setiap Senin malam, pola penayangan hampir seragam. Dimulai dengan laporan perjalanan menuju negara tujuan, menemui narasumber dan mewawancarainya, lalu berangkat ke wilayah konflik.
Di lokasi konflik, pengambilan gambar didominasi oleh gambar-gambar tentara atau gerilyawan bersenjata, yang tengah siaga dan siap tempur setiap saat.
Ada pula gambar para pengungsi, yang tinggal di kamp pengungsi seperti di Darfur. Ditayangkan juga kamp-kamp militer seperti milik MNLF (Front Nasional Pembebasan Moro) di Jolo, Mindanao. Tentu saja ditambah dengan wawancara bersama narasumber tertentu.
Saat di Darfur, misalnya, wawancara dilakukan dengan Kombes Jhoni Asadoma, Komandan Polisi Indonesia yang tergabung dalam pasukan pemelihara perdamaian PBB.
Sementara di Mindanao, wawancara dilakukan dengan Ustad Hader Malik, komandan kamp MNLF di Jolo, yang menjadi buronan militer Filipina. Entah apa perasaan tentara Filipina bila mereka melihat tayangan tersebut. Sebab ada jurnalis asing yang bisa masuk ke sarang musuh, dan mewawancarai orang yang mereka cari selama ini.
Selain Hader Malik, TV One juga mewawancarai Nur Misuari, mantan pemimpin MNLF yang sekarang menjadi politisi di Manila, serta seorang profesor, yang menjadi orang kepercayaan Misuari di Zamboanga.
Selain keberanian si jurnalis masuk ke wilayah konflik, hal lain yang patut diacungi jempol adalah penayangan gambar yang tidak ditutup-tutupi. Saat di Jolo, misalnya, wajah Hader Malik, serta para gerilyawan dan simpatisan MNLF lainnya ditayangkan secara terbuka. Tak ada yang memakai penutup wajah, atau berbagai bentuk penyamaran lainnya.
Entah karena pertimbangan keamanan, atau karena keterbatasan waktu, liputan di wilayah konflik itu terasa singkat. Setelah wawancara dan pengambilan gambar, si jurnalis dan juru kamera meninggalkan lokasi untuk kembali ke ibu kota negara bersangkutan.
Sebagai sebuah acara baru, Zona Merah cukup menarik untuk ditonton karena isinya laporan langsung dari wilayah konflik, yang selama ini jarang diliput media. Pemirsa bisa menyaksikan tayangan tentang kondisi di wilayah konflik itu, serta wawancara dengan pihak yang bertikai.
Saat liputan di Filipina, selain mewawancarai pihak MNLF, jurnalis TV One juga mewawancarai komandan militer Filipina di Zamboanga. Dengan demikian, prinsip cover both sides tetap terjaga, sehingga beritanya tetap berimbang.
Sayangnya, penguasaan si jurnalis atas peta konflik di Mindanao kurang mendalam. Dia hanya menyebutkan MNLF dan Abu Sayyaf sebagai kelompok perlawanan di wilayah selatan Filipina tersebut.
Padahal, bicara konflik Mindanao tak bisa tidak harus melibatkan pula unsur MILF (Front Pembebasan Islam Moro), yang juga gigih berjuang untuk kemerdekaan Mindanao. Namun tak sepatah kata pun diucapkan si jurnalis.
Hal ini perlu jadi perhatian redaksi TV One untuk membekali jurnalisnya dengan peta konflik berikut pemain-pemainnya, sebelum mereka dikirim ke lapangan, agar laporannya makin mendalam.
Dengan segala keterbatasannya, Zona Merah berhasil mencuri perhatian pemirsa di tengah gempuran berita tentang perseteruan cicak versus buaya saat ini.
Acara ini bisa menjadi program dokumenter alternatif, yang melaporkan langsung dari wilayah konflik yang tengah panas, tanpa harus menayangkan banjir darah dan letusan senjata. Itu bisa jadi bukti bahwa program berita dokumenter produk tv nasional tak kalah berkualitas dibandingkan tv asing.
Dan satu hal yang perlu dicatat, dari beberapa episode yang sudah tayang, jurnalis yang meliput adalah wanita. Ini juga bukti bahwa jurnalis wanita punya nyali meliput di wilayah konflik. Bukan hanya meliput hal yang remeh temeh!
No comments:
Post a Comment